Novel
JANJI DI BAWAH HUJAN
Bab 1: Pertemuan Tak Sengaja
Hujan sore itu turun tanpa aba-aba, seperti perasaan yang datang diam-diam tanpa permisi.
Alya berlari kecil dari halte menuju toko buku tua di sudut jalan, tempat ia biasa mencari pelarian dari dunia yang terlalu berisik. Rambutnya basah, jaketnya tipis, tapi wajahnya tetap tenang—seperti sudah terbiasa dengan badai, baik yang di langit maupun di hati.
Saat ia mendorong pintu kayu toko itu, terdengar suara lonceng kecil. Aroma buku lama dan kopi instan menyambutnya seperti pelukan hangat. Tapi yang paling mengejutkan bukan aroma, melainkan orang yang sedang berdiri di lorong fiksi: seorang pria dengan payung di tangan, dan senyum kecil yang tak sengaja muncul saat mata mereka bertemu.
“Maaf,” kata pria itu sambil mundur satu langkah, “aku sedang mencari buku... tapi malah menemukan seseorang.”
Alya mengangkat alis. “Itu kalimat gombal atau kamu benar-benar tersesat?”
Pria itu tertawa ringan. “Mungkin keduanya.”
Namanya Revan. Ia bukan tipe pria yang biasanya menarik perhatian Alya—terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu… misterius. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Alya tak bisa berpaling terlalu cepat.
Dan sore itu, di bawah lampu redup toko buku yang sudah lama ditinggal pelanggan, dua orang asing duduk berseberangan sambil berbicara tentang hujan, buku, dan hal-hal yang belum mereka mengerti, termasuk perasaan yang baru mulai tumbuh diam-diam.
Bagus! Kita akan lanjutkan novel "Janji di Bawah Hujan" hingga selesai, sedikit demi sedikit dalam bab-bab. Berikut kelanjutan ceritanya:
---
Bab 2: Kopi, Buku, dan Awal yang Tak Direncanakan
Revan tidak seperti laki-laki lain yang pernah Alya temui. Ia tidak terburu-buru mengesankan, tidak sok tahu soal buku, dan tidak bertanya hal-hal bodoh seperti “kamu lebih suka kopi atau teh?” Dia justru diam, mendengarkan dengan saksama saat Alya bercerita tentang buku favoritnya—yang, anehnya, juga adalah buku favorit Revan.
“Kadang, buku adalah satu-satunya tempat yang tidak menuntut kita menjadi apa-apa,” ucap Alya, sambil membalik halaman.
Revan mengangguk. “Dan kamu, sepertinya tipe yang menyukai pelarian lewat kata-kata.”
Alya menatapnya, agak terkejut. “Kamu psikolog?”
“Bukan. Cuma pernah patah hati cukup sering untuk belajar membaca orang.”
Jawaban itu membuat Alya tertawa kecil. Di luar, hujan belum reda. Tapi di dalam, percakapan mereka mengalir seperti air yang lama tertahan.
---
Bab 3: Tanda-Tanda dari Semesta
Mereka bertukar nomor telepon sebelum berpisah hari itu. Bukan karena ada niat jelas untuk bertemu lagi—hanya karena, seperti Alya bilang, “barangkali semesta ingin kita ngobrol lagi lain waktu.”
Tiga hari kemudian, pesan masuk:
Revan: “Lagi hujan. Aku ingat toko buku itu. Dan kamu.”
Dari situlah semuanya dimulai.
Mereka mulai bertemu. Tidak setiap hari, tidak juga dengan janji. Tapi semesta—entah bagaimana—selalu menemukan cara menyatukan mereka. Lewat hujan, lewat buku, lewat kebetulan-kebetulan kecil yang terlalu manis untuk disebut sekadar takdir acak.
---
Bab 4: Saat Semua Terasa Nyaman
Suatu malam, mereka duduk di bangku taman kota. Revan membawa roti bakar, Alya membawa buku puisi.
“Pernah kepikiran jatuh cinta lagi?” tanya Revan.
Alya diam lama, lalu menjawab, “Dulu aku pikir cinta itu soal detak jantung yang cepat. Sekarang, aku pikir cinta itu saat kamu bisa diam bersama seseorang... dan merasa utuh.”
Revan hanya menatapnya, dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka berpegangan tangan.
---
Bab 5: Ragu yang Diam-Diam Datang
Tapi hidup bukan novel yang selalu bahagia. Suatu hari, Revan mulai menjauh. Tidak ada pesan. Tidak ada hujan. Tidak ada buku.
Alya mencoba sabar. Tapi diam adalah pisau yang paling dalam.
Hingga akhirnya, Revan muncul lagi—tapi dengan kabar yang mengubah semuanya.
“Aku dapat beasiswa ke London. Dua tahun,” katanya pelan.
Alya menahan napas. “Dan kamu baru bilang sekarang?”
Revan menatap matanya. “Karena aku takut kehilangan ini... kehilangan kamu.”
---
Bab 6: Janji di Bawah Hujan
Hari terakhir sebelum Revan pergi, hujan turun deras.
Mereka berdiri di tempat pertama kali bertemu—toko buku itu.
“Aku gak janji untuk terus mengirim pesan,” kata Revan. “Tapi aku janji, saat aku pulang, aku akan berdiri di tempat ini lagi. Dan jika kamu masih di sini... kita mulai dari awal.”
Alya menangis. Tapi dia mengangguk. “Kalau begitu, aku akan terus mencintaimu dalam diam. Seperti buku yang belum selesai kubaca.”
---
Bab 7: Dua Tahun Kemudian
Hujan turun lagi. Toko buku tua itu masih berdiri, meski catnya mulai pudar.
Alya berdiri di sana, membawa buku yang sama—buku yang mereka baca bersama.
Lalu, dari ujung jalan, seorang pria berjalan mendekat dengan payung biru. Senyum itu masih sama. Matanya masih menghangatkan.
“Maaf,” katanya, “aku sedang mencari buku... tapi menemukan seseorang.”
Alya tertawa sambil meneteskan air mata.
“Dan aku masih di sini. Menunggumu, seperti janji.”
---
TAMAT
Komentar
Posting Komentar